Jakarta conexnews.id - Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) kembali menggelar sidang dugaan pelanggaran dalam proses penerimaan bakal calon presiden dan wakil presiden dan surat edaran dari KPU yang menyurati parpol atas terkait Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang Ketentuan Tambahan Pengalaman Menjabat dari Keterpilihan Pemilu dalam Syarat Usia Minimal Capres/Cawapres.
Sidang perkara nomor 135PKE-DKPP/XII/2023 kali ini menghadirkan saksi fakta. Dalam sidang tersebut, terjadi perdebatan alot antara pihak pelapor dan terlapor, bahkan sejumlah pertanyaan yang ditujukan kepada terlapor ada yang tidak bisa dijawab. Majelis Hakim pun mempertanyakan terkait proses penerimaan bakal calon presiden dan wakil presiden kepada KPU.
"Dalam sidang kali ini, Hakim mulai mempertanyakan dasar hukum penerimaan bakal calon presiden dan wakil presiden Prabowo-Gibran dan penerbitan surat edaran KPU. Jadi Majelis Hakim bisa menangkap apa yang menjadi laporan kita," ujar Sunandiantoro SH, MH, Kuasa Hukum dari Pelapor Demas Brian Wicaksono, Senin (8/1/2024) usai menghadiri sidang di DKPP Jakarta.
Dijelaskan Sunandiantoro, apa yang dilaporkan oleh pihaknya terkait dengan tindakan KPU yang tidak sesuai dengan prinsip Berkepastian Hukum atau melanggar etika Berkepastian Hukum yaitu KPU menyalahi wewenang menindaklanjuti Putusan MK. Putusan MK sekalipun bermasalah, lanjutnya, namun ia tidak dalam rangka mempermasalahkan Putusan MK-nya, tetapi yang paling mendasar adalah apa tindak lanjut secara hukum yang bisa dikerjakan terkait adanya Putusan MK tersebut.
"Berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011, Pasal 10 Ayat 1 huruf (d) dan Ayat 2 berikut Penjelasannya, sudah jelas bahwa tindak lanjut Putusan MK itu dilakukan oleh DPR atau Presiden untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum. Maka setelah adanya Putusan MK Nomor 90, maka harus ada tindak lanjut dari DPR atau Presiden. Jika tidak ada tindak lanjut, maka ada kekosongan hukum," ujar Sunandiantoro.
Anehnya, kata Sunandiantoro, KPU secara serta Merta menyalahgunakan wewenangnya pada tanggal 17 Oktober 2023 dengan membuat Surat Edaran kepada pimpinan Parpol untuk mempedomani Putusan MK. "Lalu dasar hukum KPU melakukan ini apa? Akhirnya dalam hal ini KPU tidak menggunakan prinsip Berkepastian Hukum," jelasnya.
Tidak hanya itu, terkait dengan perubahan PKPU nomor 23 tahun 2023, KPU bisa melakukan perubahan PKPU tersebut sedangkan Putusan MK belum ditindaklanjuti oleh DPR atau Presiden. "Lalu dasar hukumnya apa? Sementara di UU Nomor 12 tahun 2011 tidak ada wewenang dan tugas KPU untuk menindaklanjuti Putusan MK," ungkap Sunandiantoro.
Sidang selanjutnya, tambah Sunandiantoro, pihaknya akan menghadirkan saksi ahli yaitu ahli hukum Tata Negara dan ahli hukum Perdata untuk membuktikan dan memperjelas laporan dan penjelasan. Ia berharap Komisioner KPU harus diganti seluruhnya untuk menyelamatkan proses Pemilu 2024.
"Salah satu cara menyelamatkan proses pemilihan presiden dan wakil presiden 2024 adalah mengganti Komisioner KPU agar masyarakat tidak menjadi korban akibat tindakan melawan hukum, tindakan melawan etik, tindakan penyelundupan Hukum, tindakan abuse of power dan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh KPU, sehingga komisioner KPU harus diganti dan Pemilu harus tetap berjalan," pungkasnya. (Muh)