Jakarta Conexnews.id - Seminar penyuluhan tentang pentingnya perlindungan hukum terhadap anak dari pelecehan dan kekerasan seksual yang terjadi didalam lingkungan pendidikan ataupun diluar lingkungan pendidikan.
Sebagai bentuk kepedulian mahasiswa untuk membantu permasalahan yang dihadapi masyarakat yang sifatnya membutuhkan solusi (penyelesaian) khususnya permasalahan hak-hak pada anak yang berhubungan dengan masalah hukum, untuk mewujudkan kepedulian itu, diperlukan sebuah pengabdian yang dilaksanakan.
Kasus kekerasan dan pelecehan seksual di Indonesia masih menjadi problematika dan belum memiliki kepastian hukum yang kuat, terutama dalam hal upaya penegakan hukum dan pembuktian di peradilan.
Berangkat dari isu ini Dosen Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya Dr.(c) Anggreany Haryani Putri, SH.MH, siap menjadi Narasumber dalam Seminar diskusi Eksekutif Mahasiswa
yang Bertajuk " Perlindungan Hukum Korban Kekerasan dan Pelecehan Seksual di lingkup Pendidikan " Senin Kamis 2 Juni 22
Saya hadir di Seminar dan diskusi publik yang bertema “Problematika Penanganan Kasus Pelecehan dan Kekerasan Seksual di Indonesia” pada 2 Juni 2022 bertempat di Universitas Bhayangkara Jakarta Raya Gedung Graha Sumarecon dan acara di mulai pada Pukul .15.00 hingga selesai " Ucapnya.
Anggreany mengatakan bahwa perlindungan pada korban kekerasan seksual di Indonesia saat ini masih sangat minim. Korban kekerasan seksual masih sulit membuktikan saat dia menjadi korban kekerasan seksual dan selain itu proses penyelesaian kasus yang masih banyak hambatan kerap kali menjadikan kasus ini dihentikan atau ditindak lanjuti.
Mirisnya lagi ketika kasus yang diajukan oleh korban mendapat SP3 atau dinyatakan sudah tidak dapat ditindak lanjuti, korban malah kembali dituntut oleh pelaku kekerasan seksual dengan tuntutan pencemaran nama baik, dan lain sebagainya.
Ia menilai perlu adanya beberapa perbaikan. Pertama, pasal-pasal dalam KUHP belum berspektif korban kekerasan seksual. Anggreany mengambil contoh tentang pasal perkosaan. Dalam KUHP, perkosaan hanya terjadi pada perempuan yang belum pernah menikah, kemudian harus ada unsur kekerasan dan ancaman, serta ada tindakan penetrasi. Penetrasi harus dibuktikan dengan visum, dan apabila tidak terbukti maka tindakan tersebut tidak dapat diputuskan dengan tindakan perkosaan, melainkan tindakan pencabulan.
Lebih lanjut Dosen Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya Dr.(c) Anggreany Haryani Putri, SH.MH mengatakan masih banyak ahli yang tidak berprespektif pada perlindungan terhadap korban. Pihak ahli banyak yang tidak sepemahaman terhadap posisi korban, sehingga terkadang keterangannya dapat membuat posisi korban lemah.
Perlu diketahui dari struktur hukumnya. Di Indonesia, baik Sumber Daya Manusia (SDM) maupun instansi atau lembaga pemerintahan, masih sedikit yang terlatih untuk dapat memahami korban dan masih banyak lembaga yang kurang peduli dengan korban kekerasan seksual, dan tidak sedikit juga masyarakat yang malah menyalahkan korban kekerasan seksual.
Oleh karnanya budaya hukum yang masih menerapkan budaya patriarki. Sistem peradilan yang rumit kerap kali membuat korban kelelahan baik dari segi psikis hingga biaya, yang menyebabkannya memilih untuk mencabut laporan dan meratapi nasib.
Masyarakat masih memposisikan korban sebagai penyebab terjadinya kekerasan dan melihat kasus kekerasan seksual sebagai permasalahan korban saja. Kurangnya empati dan kepedulian dari saksi yang mengetahui tindakan kekerasan seksual tersebut.
Kendati demikian disahkannya RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menjadi hal yang sangat penting. Sebab, dalam RUU TPKS ini mengandung 6 elemen kunci, yaitu: memuat 9 bentuk kekerasan seksual, pengakuan terhadap hak-hak korban, hukum acara yang terpadu dengan pengaturan alat buktinya, ketentuan pemidanaan, pencegahan, dan pemantauan terhadap tindakan kekerasan seksual.
Patut dipahami kasus kekerasan seksual terhadap perempuan di Indonesia telah banyak dan kasus ini terhadap perempuan dengan cakupan kasus kekerasan terhadap psikis, kekerasan terhadap seksual, dan kekerasan terhadap fisik untuk itu hal ini terjadi dikarenakan adanya ketidak seimbangan relasi gender antara perempuan dan laki-laki.
Selain itu,Ia menjelaskan dalam lingkup mikro (individu), perempuan masih kurang mendapatkan informasi terkait pemahaman terkait kekerasan seksual. Sedangkan di lingkup keluarga, mayoritas perempuan juga masih memiliki ketergantungan ekonomi terhadap pasangan maupun anggota keluarga lainnya.
Stigma masyarakat yang menganggap kekerasan seksual terjadi karena perempuannya yang menggoda, perempuan kerap kali dicap sebagai perempuan murahan, perempuan nakal juga masih kental dan disisi lain, pelaku tidak pernah disalahkan.
Untuk itu Anggreany yang merupakan sebagai ahli Hukum Pidana mendorong dengan adanya pengesahan UU TPKS dapat diterapkan dengan baik. Pihaknya juga terus melakukan peningkatan literasi dan pengetahun masyarakat terhadap kasus kekerasan seksual, serta melawan hoax untuk mengatasi persoalan kekerasan seksual di Indonesia ini merupakan
dengan harapan untuk ke depannya kasus kekerasan seksual di Indonesia dapat menurun dan dapat diatasi dengan lebih baik.
Dari adanya kegiatan seminar ini adalah bentuk kepedulian mahasiswa akan permasalahan hak hak pada anak yang berhubungan pelecehan dan kekerasan seksual terhadap anak-anak Indonesia " Tutupnya.
Nara sumber : Dr.(c) Anggreany Haryani Putri, SH.MH
Jumat, 03 Juni 2022
New